WAKTU adalah NYAWA
Hendra Arief Abidien ibn ahmad
Allah SWT menciptakan matahari dengan sinarnya, bulan dengan cahayanya, lalu Allah pun menempatkan mereka pada garis edar-nya. Semua itu tiada lain agar kita mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. sebagai mana sering kita dapati, Al-quran sering menyinggung mengenai waktu. bahkan, ALlah tidak sekali saja bersumpah dengan waktu, seperti wal ashr, wal laili, wal fajr.Para ahli tafsir menyatakan bahwa sumpah Allah terhadap suatu benda menunjukkan penting dan bernilainya benda itu di sisi allah. demi masa, demi malam , demi fajar, dan masih banyak lagi, yang semua itu tidak lain adalah waktu. Allah SWT menciptakan yang sedemikian itu bukan tanpa tujuan.
”Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan bumi, benar-benar ada tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.” [QS Yunus (10): 6].
Imam Al-Ghazali dalam bukunya Khuluqul Muslim menerangkan bahwa waktu adalah kehidupan. Karena itu, Islam menjadikan kepiawaian dalam memanfaatkan waktu termasuk di antara indikasi keimanan dan tanda-tanda ketakwaan. Orang yang mengetahui dan menyadari akan urgennya waktu berarti memahami pula nilai hidup dan kebahagiaan.
Sebaliknya, orang yang tidak mengenal pentingnya waktu, maka ia seakan-akan hidup dalam keadaan mati, meskipun hakikatnya ia bernapas di muka bumi. ”Allah bertanya, berapa tahunkah lamanya engkau tinggal di bumi? Mereka menjawab, kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyalah kepada orang-orang yang menghitung.” (QS Al-Mu’minun (23): 112-113).
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak mengetahui pentingnya waktu seakan-akan hanya hidup sehari atau setengah hari, karena mereka tidak memahami arti umur, tidak mampu menguasai dan mengisinya dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat.
Membiarkan waktu terbuang sia-sia dengan anggapan esok masih ada waktu merupakan salah satu tanda tidak memahami urgensi waktu. Padahal, ia tidak pernah datang untuk kedua kalinya. Dalam pepatah Arab disebutkan, ”Tidak akan kembali hari-hari yang telah lampau.”
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman: ”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali-Imran: 133). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan, bersegera menuju ampunan Tuhan berarti bersegera melakukan perbuatan yang dapat menutup dosa, yaitu mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Rasulullah SAW mengajarkan agar setiap Muslim menghargai waktu, utamanya waktu ‘sekarang’, karena waktu yang selalu tersedia bagi kesempatan itu ialah ‘sekarang’. ‘Sekarang’ adalah kesempatan yang terbaik.
”Apabila engkau berada pada petang hari, janganlah mengulur-ulur urusanmu sampai besok, dan apabila engkau berada di pagi hari, jangan menunda urusanmu sampai petang. Ambillah kesempatan waktu sehatmu sebelum datang sakit, dan kesempatan hidupmu sebelum matimu.” (HR Bukhari).
Dari sabda Rasulullah SAW di atas, kita dapat memahami bahwa mengulur-ulur waktu, menunda pekerjaan, dan menyia-nyiakan kesempatan sangatlah bertentangan dengan ajaran Islam. Kebiasaan mengulur waktu dan menunda kerja yang dilarang Rasulullah SAW itu jika diteruskan akan membuat umat Islam tertinggal dan lemah.
meskipun hal itu tidak kita sadari namun sebenarnya hal itu banyak terjadi dikehidupan kita.
Sementara Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam bukunya Al-Fawa’id menerangkan, ‘Pada umumnya, menyia-nyiakan hari disebabkan dari sikap yang lebih memprioritaskan kehidupan dunia dari akhirat dan membiarkan waktu terbuang dengan anggapan esok masih ada waktu.
Muhammad Iqbal, seorang pujangga Muslim dari Pakistan, juga sering mengungkapkan dalam puisi-puisinya agar umat Islam bangkit dan menjauhi sikap bermalas-malasan dan tidak menghargai waktu. Karena barang siapa yang berleha-leha dan bermalas-malasan, maka dia akan ‘tergilas’.
Waktu merupakan salah satu hal yang sering dilalaikan manusia, selain kesehatan. Rasulullah SAW bersabda, ”Ada dua nikmat, di mana banyak manusia tertipu di dalamnya, kesehatan dan kesempatan.” (HR Bukhari).
Dalam kitab Fathul Baari diterangkan, ”Barang siapa menggunakan kesempatan dan kesehatannya untuk taat kepada Allah, maka dialah orang yang amat berbahagia. Dan barangsiapa menggunakannya di dalam bermaksiat kepada-Nya, maka dialah orang yang tertipu. Karena kesempatan senantiasa diikuti kesibukan dan kesehatan akan diikuti masa sakit.
Kalaulah Ibnu Umar saja mengisi waktu di rumahnya dengan berwudlu, shalat, membaca, atau Alquran –sebagaimana dikisahkan Ibnu Mas’ud, ”Ditanyakan kepada Nafi’ (murid Ibnu Umar), ‘Apakah yang dilakukan Ibnu Umar di rumahnya?” Nafi mengatakan, berwudhu setiap kali shalat dan membaca Alquran di antara keduanya”– maka pertanyaannya sudahkah kita mengisi waktu-waktu kita dengan hal yang bermanfaat atau malah sebaliknya.
”Maka, apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya engkau berharap.” (QS Al-Insyirah (92): 7-8).
Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW mengumpamakan waktu seperti sebilah pedang. Pedang merupakan sesuatu yang berguna sekaligus berbahaya. Apabila kita tidak bisa menggunakannya, maka dia yang akan memotong kita. Selintas saja kita terlena dengan membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa sesuatu yang berarti di dalamnya, berarti kita tidak menghargai umur yang dikaruniakan oleh Allah SWT. Wallahu a’lam