Kembali Fitrah; Dengan Memahami Esensi Penciptaan Ruh dan Jiwa

     Kembali Fitrah; Dengan Memahami Esensi Penciptaan Ruh dan Jiwa

Oleh : Ahmad Subqi*

Manusia secara esensialnya terdiri dari dua hal yaitu jasad (jism) dan nafs (jiwa), kemudian dalam jasad tersebut terdapat haeah (bentuk) extern (zahir) yang dapat tersifati oleh baik dan buruk. Sepetri halnya nafs (jiwa) juga terdapat haeah intern (bathin) yang dapat disifati oleh baik dan buruk pula.( Imam al-Gazali)

 

1. Iftitah

 

Dalam kitab arrisalah alladuniyah Imam Gazali menggambarkan bahwa jasad akan mengalami kehancuran fisik, namun perbuatan yang timbul dari jiwa tidak akan sempurna pencapaiannya kecuali melalui jasad sebagai mediumnya. Begitu pula jiwa (nafs) yang merupakan jauhar mufrad (inti tunggal) adalah unsur penggerak dari semua perbuatan, jasad akan lebih tahu akan makna perbuatan itu sendiri. Jadi keduanya ibarat api dan panas, merupakan hal yang mustahil jikalau dipisahkan. Penggambaran zahir jasad tidak selamanya signifikan dengan bentuk jiwa, namun penggambaran bentuk jiwa tertuang dalam perbuatan jasad.

 

2. Ruh manusia

 

Allah Swt. telah menyusun jasad manusia dari berbagai unsur baik dan unsur buruk, dan mengatur semuanya menjadi suatu susunan yang saling melengkapi. Oleh karena itu berdasarkan bentuknya, ruh dapat terbagi menjadi dua bagian: Pertama; Ruh kehewanan (ruh hayawaniyyan) yaitu jasad tidak akan menimbulkan kekuatan ketika tidak terisi oleh makanan, dan indikasinya tidak akan mampu menimbulkan kekuatan syahwat dan perasaan benci (gadab). Kemudian tidak juga kekuatan hati untuk hidup dan perealisasian suara hati melalui anggota badan, dan semua kekuatan itu disebut dengan ruh kehewanan (ruh hayawaniyyan) yang terdiri dari perasaan, perbuatan, syahwat dan perasaan benci. Kedua; Ruh tabiat kemanusiaan (ruhan tobiiyyan) yaitu kekuatan perasaan untuk mencari makanan, misalkan yang kemudian menimbulkan ketenangan dalam hati.

 

Adapun kekuatan yang tergambarkan dan tercipta atau timbul dari ruh tersebut merupakan pelayan untuk jasad. Begitupula jasad adalah pelayan ruh hayawani, karena jasad dalam melakukan sesuatu tergantung komando dari ruh itu sendiri. Yaitu jiwa yang merupakan jauhar (inti) yang sempurna yang tidak diciptakan kecuali untuk berfikir, mengingat, menghafal, menentukan, menerima segala jenis ilmu dan lain-lain, dan bentuk inilah merupakan unsur utama dari segala ruh dan sumber daripada semua kekuatan.

 

Para hukama menamai jauhar (jiwa) ini dengan nama an nafs an nathiqoh (jiwa yang berpikir) dan nafs natikoh disebut sebagai ruh hayawani. Sedangkan Al-Qur’an menyebutnya dengan an-nafs mutmainnah, dan para Sufi memberi nama jauhar dengan sebutan ‘Al-Qalb’.

 

Ruh hayawani adalah jasad yang diibaratkan seperti lampu yang menyala, yang berada dalam corong hati. Kehidupan adalah pancaran dari lampu tersebut dan darah adalah bahan bakarnya. Perasaan dan gerakan adalah cahayanya, syahwat adalah panasnya, benci adalah asapnya dan kekuatan untuk mendapatkan sesuatu kepentingan dalam hati adalah pelayannya, penjaganya dan wakilnya.

 

Ruh inilah yang berada dalam diri semua hewan dan manusia, dan ruh ini tidak tahu tentang proses pembuatan dan siapa pembuat lampu tersebut, tetapi hanya merupakan pelayan yang akan mati apabila badan mati. Apabila bertambah darah (bahan bakarnya) maka akan meresap ke dalam sumbu lampu terebut dan bertambah panas walaupun berkurang, maka akan meresap dan bertambah dingin, dengan resapan itulah merupakan penyebab matinya badan. Itulah makna daripada an nafs an natiqoh dan ruh mutmainnah.

 

Ruh ini juga bukan merupakan jisim atau ‘arad karena merupakan rahasia Allah Swt.. Sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an surah Al-Isra ayat: 87 dan Al-Fajr ayat: 27-28.

 

Semua perkara yang langsung berhubungan dengan Allah bukanlah jisim atau ‘arad melainkan kekuatan Ilahiyyah. Ruh dan hati tidak akan pernah rusak, binasa dan mati. Tetapi hanya berpisah dengan badan dan menunggu kembali kepada Allah di hari kiamat nanti seperti yang diterangkan dalam sunnah Rasul-Nya. Ruh natiq bukanlah sebuah jisim dan bukan juga sebuah ‘arad melainkan adalah sebuah jauhar yang permanent selamanya tanpa menerima kerusakan sedikitpun.

 

Selain Allah Swt. menyangkutkan masalah ruh kepada urusan-Nya maka Allah pun mengaitkan urusan ruh dengan keagungan-Nya seperti yang terdapat dalam surat Al-hijr ayat: 29 dan At-tahrim ayat: 12. Allah tidak akan menyandarkan kepada dirinya berupa ‘arad atau jisim yang berubah dan rusak. Sedangkan ‘arad tidak akan ada setelah berahirnya jauhar karena tidak ada tempat untuk menetap.

 

Setelah kita ketahui beberapa ayat dan dalil burhaniyyah akliyyah maka dapat disimpulkan bahwa ruh adalah jauhar fard (inti yang tunggal) yang sempurna dan hidup dengan dzatnya yang dari situ dapat melahirkan kebaikan dan kerusakan agama seseorang, dan ruh hayawaniyyah dan ruh tabiiyyah dan semua kekuatan-kekuatan merupakan tentara hidup.

3. Jiwa manusia (An-Nafs)

Jiwa mampu mengetahui hakikat manusia sesunguhnya. Dengan tidak melihat atau menyamakan manusia sebagai malaikat atau setan. Dengan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melihat pribadi manusia itu sendiri baik secara zahir maupun bathin. Para Sufi berpendapat bahwa hati mempunyai mata seperti jasad yang mempunyai mata pula. Hati dapat melihat sesuatu yang zahir dengan mata zahirnya dan dapat pula melihat hakikat dengan mata akalnya. Seperti yang sabda Rasulullah Saw. : (ما من عبدالاولقلبهاعينان) dan kedua mata itu dapat mengetahui sesuatu yang gaib. Apabila Allah menghendaki kepada hamba-Nya suatu kebaikan maka Allah akan membukakan pintu hatinya dan dia akan melihat sesuatu yang metafisik itu secara kasat mata. Ruh ini (jiwa) tidak akan mati jikalau badan mati berbeda dengan ruh mutmainnah yang akan mati jikalau badan mati.

 

Oleh karena itu, setelah diketahui bahwa ruh adalah jauhar fard dan jasad adalah tempatnya (‘arad). Kemudian ‘arad tidak akan ada kecuali dengan adanya jauhar, maka jauhar ini adalah tidak membutuhkan kepada suatu keadaan dan tempat, dan badan bukan tempatnya ruh dan bukan tempatnya hati tetapi badan adalah alat ruh dan perangkat hati serta tempat menumpangnya jiwa.

 

Dan ruh adalah suatu dzat yang tidak ittishol dengan badan dan juga tidak infishol darinya. Tetapi jauhar sesuatu yang menerima adanya badan dan memberi manfaat kepada badan. Oleh karena itu unsur yang pertama kali menyinari jiwa adalah akal, karena akal adalah sebagai pelindungnya, kemudian ruh hayawaniyyah sebagai pelayannya, ruh tobiiyyah sebagai wakilnya, badan sebagai tumpangannya, dunia sebagai lapangannya, kehidupan sebagai barang dagangan dan harta, gerakan sebagai barang jualan, ilmu sebagai untungnya, akhirat sebagai maksud dan tempat kembali, syariat sebagai jalan dan manhaj, jiwa sebagai pelindung dan pemimpin, agama sebagai jalan, akal sebagai guru, dan rasa sebagai muridnya.

 

Allah lah yang berkuasa dibelakang semua itu, dan ruh tidak akan bersinergi dalam perjalanan hidup ini kecuali dengan mencari ilmu. Karena ilmu andalan untuk kehidupan akhirat sedangkan harta dan keturunan hanyalah sebagai hiasan hidup belaka.

 

Seperti halnya mata hanya akan melihat kepada sesuatu yang tampak oleh pandangan saja, telinga hanya akan mendenganr kepada sesuatu yang terdengar saja dan lidah hanya akan bicara dengan susunan kata saja. Ruh hayawaniyyah hanya menginginkan kelezatan, kebencian dan syahwat, dan ruh tobiiyyah hanya menginginkan lezatnya makan dan minum. Begitu pula ruh mutmainnah yaitu ‘hati’ hanya menginginkan ‘ilmu’ dan tidak akan ridha tanpanya, dengan belajar sepanjang hidupnya. Apabila menerima selain dari pada ilmu, itu hanyalah sebagai kemaslahatan badan saja tidak sebagai maksud tujuan asalnya.

4. Ikhtitam

 

Setelah kita mengetahui esensi dari penciptaan ruh dan jiwa, keberadaanya dan kebutuhannya terhadap ilmu, seperti dikatakan oleh para ahli sufi “jasad kosong makanannya nasi dan air namun apabila jiwa dan roh kosong makanannya adalah ilmu pengetahuan”.maka dianjurkan kepada kita untuk mengetahui berbagai macam ilmu pengetahuan yang menjadi makanan yang harus dikonsumsi oleh ruh dan jiwa kita. Sejatinya di hari yang fitrah ini, izinkah tatanan ruh dan jiwa-jiwa kita beraktifitas rapih sesuai porosnya. [ ]

 

*Mahasiswa asal Tanggamus, Pemred Buletin Sriwijaya

 

 

 

 

2 Komentar

Filed under HIKMAH

2 responses to “Kembali Fitrah; Dengan Memahami Esensi Penciptaan Ruh dan Jiwa

  1. assalamualaikum…..
    ada artikrl yang membahas tema serupa akh?
    syukron

  2. mari belajar

    bermanfaat…….

Tinggalkan komentar